Jumat, 13 Agustus 2010

Telaga Al-Kautsar

DI TELAGA ITU RASUL MENANTI Mar 9, '09 12:00 PM
for everyone

Jika cinta Rasul tak bertepi, sudahkan kita mencintai dengan semestinya?


“Sesungguhnya aku menunggu (kedatangan) kamu sekalian di telaga. Barangsiapa melewati, dia pasti minum. Dan barangsiapa minum, maka dia tidak akan dahaga selamanya.” (HR Al Bukhari)

Manusia agung itu memang telah tiada. Setelah dua puluh tiga tahun menebar cahaya Islam dengan penuh cinta dan kasih sayang untuk menyelamatkan kita, manusia, beliau pergi menemui Rabbnya. Kepergiannya membuat seisi dunia menangis. Bukan hanya para sahabat yang begitu sangat mencintainya, tapi mimbar dan tongkat yang selalu menemaninya saaat berkhutbah, pun ikut berguncang hebat tanda keduanya sedang berduka.

Namun, meskipun telah tiada, namun kecintaan sang Nabi kepada kita umatnya tiada pernah henti. Walau terkadang yang dicinta tidak pandai membalas cinta, juga tidak sadar kalau selalu didoakan keselamatan dan ditangisi kesulitan yang menimpanya. Kecintaannya terbawa mati. Bahkan tidak berujung. Cinta itu selalu hadir kapanpun dan bagaimanapun situasinya. Tak kenal suka maupun duka. Tak terbatas dunia dan akhirat. Tak terbedakan di saat aman atau sedang huru hara. Di saat seorang ibu dan seorang anak tidak saling mengenal, sekalipun.

Di sana, di padang mahsyar, ketiga segenap kita disibukkan oleh urusan kita masing-masing. Ketika kita digiring secara kasar menuju pengadilan Tuhan Yang Mahabijaksana. Ketika kita dikumpulkan dalam keadaan telanjang dan tanpa alas kaki. Ketika matahari dengan sinarnya yang membakar hanya berjarak satu hasta dari atas kepala. Ketika rasa haus memcekik tenggorokan. Ketika ini dan itu terjadi, cinta itu kembali hadir. Ya, hadir dalam sebuah telaga yang indah nan menyegarkan. Yang semua orang pasti berharap dapat meneguk airnya di tengah berbagai kesulitan yang mendera.

Anas bin Malik ra pernah bercerita, “Suatu hari, ketika Rasulullah sedang berada di tengah-tengah kami, beliau mengantuk. Mendadak beliau terbangun sambil tersenyum. Kami bertanya, “Kenapa engkau tersenyum, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Baru saja turun sebuah surat kepadaku.” Beliau lalu membaca surat Al Kautsar. Kemudian beliau bertanya, “Tahukah kalian apa itu Al Kautsar?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau bersabda, “Ia adalah sebuah telaga penuh dengan kebajikan yang dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku. Pada hari kiamat nanti umatku akan mendatangi telaga itu.” (HR. Muslim).

Ibnu Abbas juga pernah berkata, “Rasulullah ditanya tentang padang mahsyar tempat makhluk menghadap Allah; apakah di sana ada air?” Beliau menjawab, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, di sana ada air. Orang-orang yang dikasihi Allah akan mendatangi telaga para nabi. Allah akan mengutus tujuh puluh ribu malaikat dengan tangan memegang tongkat dari neraka yang digunakan untuk menghalau orang-orang kafir dari telaga para nabi.

Telaga itu benar-benar ada, luas dan indah. Dan sungguh sangat indah. Ia hadir dengan nama yang indah pula, Al Kautsar; nikmat yang banyak. Demikian Abdullah bin Abbas, sepupu Nabi SAW menuturkan. Keindahan fisik telaga itu tergambar dalam banyak sabda Rasulullah SAW. Terdiri dari empat sudut, telaga itu memancarkan kilatan cahaya bagai kilatan cahaya bintang. Jarak antara sudut yang satu ke sudut yang lain ditempuh dengan perjalanan satu bulan. Telaga itu diisi dengan air yang putih dan bersih, lebih putih dari susu. Rasanya manis, lebih manis dari madu. Aromanya harum semerbak, lebih harum dari minyak kesturi (HR Bukhari). Di salah satu sudut telaga terdapat satu sumber yang mengalir dari surge. Juga ada sepasang kran dari surge. Yang satu terbuat dari emas, dan satunya lagi terbuat dari perak (HR Muslim). Orang yang berhasil meminumnya barang seteguk saja, tak akan pernah lagi merasakan kehausan, selamanya. (HR Tirmidzi).

Kehidupan di padang mahsyar adalah kehidupan yang masa transisi dari rangkaian sebuah perjalanan panjang menuj kehidupan selanjutnya yang abadi. Di kehidupan kita itu kita akan menemui beragam kesulitan yang maha dahsyat , yang tidak akan pernah terkirakan oleh siapapun. Berbaur dengan makhluk dari golongan jin, di sana kita dikumpulkan dan digiring menuju pengadilan Allah SWT, Hakim Yang Mahabijaksana, dalam keadaan telanjang dan hina dina. Kekuasaan yang pernah diberikan kepada kita dimuka bumi telah dicabut. Kita semua menjadi kerdil dan tidak lagi sombong. Kondisi kita waktu itu benar-benar diliputi ketegangan, ketakutan, dan kengerian yang tiada tara.

Kita semua berkumpul jadi satu di bawah terik matahari yang menyengat sangat panas. Desah nafas kita terdengar tersengal-sengal. Tubuh kita berhimpitan satu sama lain, sangat rapat dan tidak ada celah sedikitpun. Keringat pun mengucur dari tubuh kita, jatuh membasahi bumi. Mula-mula hanya setinggi mata kaki, lalu semakin naik sesuai dengan martabat kita di sisi Allah SWT; apakah kita termasuk yang beruntung atau yang celaka. Sebuah kehidupan yang sungguh sangat menyesakkan.

Abu Bakar bin Barjan berkata, “Seperti itulah yang terjadi. Seluruh manusia berada di satu tempat. Posisi mereka sama. Tetapi ada salah seorang atau sebagian dari mereka yang minum air di telaga Rasulullah SAW, sementara yang lain tidak bisa. Ada yang berjalan di kegelapan dan berdeak-desakan dengan diterangi cahaya di depannya, dan juga ada yang berjalan dengan melawan arus keringat sendiri yang hampir menenggelamkannya. Semua itu adalah sebagian balasan dari usaha amalnya sewaktu di dunia. Ada juga sebagian dari mereka yang hanya berada di dekat naungan ‘Arsy”.

Kita berdesak-desakan seperti itu selama seribu tahun , tanpa diajak bicara oleh Allah SWT barang sepatah katapun. Sementara kepanikan ini belum selesai, di sisi lain kita di dera kehausan yang belum pernah kita alami sama sekali. Alangkah nikmatnya, jika pada saat itu ada yang menawarkan kepada kita air yang lebih nikmat dari susu dan lebih manis dari madu. Alangkah bahagianya, jika dalam kebingungan itu ada yang menyambut kita dengan senyum tulus tanda cinta dan sayang. Alangkah gembiranya, jika di saat terdesak itu ada yang membela kita dengan permohonan ampun dan do’a-do’anya yang menyejukkan.

Hari ini kita belum merasakan kesulitan itu. Hari ini kita masih bisa tertawa. Hari ini kita masih bisa bercanda. Tetapi suatu saat nanti kita akan mengalami kehausan yang sangat, dan kala itu tidak ada yang minum kecuali yang pernah memberi minum orang lain karena Allah, tidak ada yang diberi makan kecuali orang yang pernah memberi makan orang lain karena Allah, tidak ada orang yang diberi pakaian kecuali orang yang pernah memberi pakaian orang lain karena Allah, dan tidak ada orang yang diberi kepercayaan kecuali orang yang pernah bertawakkal kepada Allah.

Di telaga itu Rasulullah menanti umatnya, dengan luapan cinta dan kasih sayangnya, menyambut mereka yang kehausan. Beliau sangat mengenali umatnya, karena memang mereka memiliki tanda-tanda yang tidak dipunyai siapapun dari umat lain. “Kalian akan datang kepadaku dengan muka, lengan, dan betis yang berkilauan karena bekas air wudhu,” Tegas beliau dalam sabdanya.

Memang, telaga dan semua kenikmatan itu bukan akhir dari segalanya. Perjalanan kita menuju persinggahan terakhir; surga atau neraka, masih sangat panjang. Begitupun, bisa mampir dan minum di telaga Rasul itu sungguh sebuah karunia besar. Perjalanan memang belum lagi selesai. Tapi mendapatkan minum dari telaga yang sesudahnya tidak ada lagi haus sungguh sangat di dambakan. Itu sangat meringankan, di hari ketika segalanya berubah begitu mengerikan, panas, haus, dan mencekam.

Hari ini entah di ujung pelarian mana kita menuju. Tapak demi tapak adalah keniscayaan menuju kematian. Di telaga itu, kelak, Rasul setia menanti. Dengan cinta dan kasih sayangnya. Tidak ada yang patut dilakukan, kecuali senantiasa memohon, agar bila tiba saatnya, kita bisa bertemu Rasul di telaga itu, lalu minum dengan sepuas hati.

Di sana, di telaga itu, Rasul menanti.

-Tarbawi Edisi 124 Th.7 Dzulhijjah 1426 H, 19 Januari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar